Haji Bukan Sekadar Rukun Islam, Tetapi Cermin Kesempurnaan Akhlak

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Putri Terbaik Mojokerto – Haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang menjadi puncak kesempurnaan ibadah bagi seorang Muslim. Ibadah ini bukan hanya ritual fisik yang menguras tenaga dan materi, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang mendalam, yang seyogianya membawa perubahan dalam diri setiap individu yang melaksanakannya. Namun, apakah ibadah haji secara otomatis menjamin kesalehan dan akhlak seseorang? Apakah semua orang yang berangkat haji benar-benar menjadi insan yang lebih baik setelahnya?

Dalam QS. Ali Imran: 97, Allah SWT berfirman

 

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًاۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

 

Artinya: “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam,” (QS. Ali Imran: 97).

Ayat ini menegaskan bahwa haji adalah kewajiban bagi mereka yang mampu. Namun menarik untuk dicermati, bahwa pada akhir ayat tersebut Allah menyebut bahwa siapa pun yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah tidak membutuhkan manusia dan ibadah mereka. Ini memberikan isyarat kuat bahwa pelaksanaan ibadah haji bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi sejatinya adalah bentuk ketundukan dan keikhlasan seorang hamba.

Haji Mabrur: Hadiah yang Tiada Tandingannya

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, balasan bagi mereka yang melaksanakan haji dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan, disebutkan secara gamblang. Dari sahabat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda

 

العُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَآءٌ إلَّا الْجَنَّةُ

 

Artinya: “(Satu) umrah ke umrah (berikutnya) adalah pelebur dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur hanya mendapatkan balasan surga,” (Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002], hal. 427).

Hadits ini sangat populer, tetapi maknanya seringkali luput dari perenungan mendalam. Haji mabrur yaitu haji yang diterima oleh Allah dan membawa perubahan positif dalam diri pelakunya bukan hanya mendatangkan pahala, tetapi juga balasan tertinggi berupa surga. Hal ini menunjukkan betapa tingginya nilai spiritual dari haji mabrur. Namun demikian, syarat utama dari haji mabrur adalah keikhlasan dan pelaksanaan rukun-rukunnya dengan benar serta tidak ternoda oleh riya, ujub, ataupun maksud-maksud duniawi.

Peringatan Imam al-Ghazali tentang Tujuan Haji

Dalam kenyataannya, tidak semua orang yang menunaikan haji melakukannya semata-mata karena Allah. Ada berbagai niat yang tersembunyi di balik keberangkatan seseorang ke tanah suci. Imam al-Ghazali dengan tajam mengkritik fenomena ini dan mengutip sebuah riwayat yang menggambarkan keadaan manusia di akhir zaman:

 

إِذَا كَانَ آخِرُ الزَّمَانِ خَرَجَ النَّاسُ إِلَى الْحَجِّ أَرْبَعَةَ أَصْنَافٍ سَلَاطِيْنُهُمْ لِلنُّزْهَةِ وَأَغْنِيَاؤُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ وَقُرَّاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ

 

Artinya: “Ketika masuk pada akhir zaman, maka manusia yang keluar menjalankan ibadah haji terbagi menjadi empat macam. Antara lain: para penguasa di antara mereka (berhaji) untuk sekedar rekreasi, orang-orang kaya di antara mereka (berhaji) untuk berbisnis, orang-orang miskin di antara mereka (berhaji) untuk mencari solusi atas permasalahan mereka dan para ahli baca al-Qur’an di antara mereka (berhaji) untuk mendapatkan popularitas.”

Riwayat ini menjadi tamparan keras bagi siapa pun yang berangkat haji dengan niat yang tidak lurus. Apakah kita berhaji karena Allah atau karena gengsi? Apakah kita berniat memperbaiki diri atau sekadar ingin dipanggil “pak haji” atau “bu haji”? Imam al-Ghazali tidak bermaksud mengecilkan niat orang lain, melainkan sebagai bentuk muhasabah bagi kita semua untuk selalu memurnikan niat ibadah.

Baca juga Keutamaan dan Hikmah Puasa Syawal Meneladani Usamah bin Zaid dan Dampaknya Bagi Mentalitas Muslim

Refleksi dan Muhasabah Diri

Haji seharusnya tidak berhenti pada ritual. Ia harus berdampak pada akhlak, perilaku, dan cara pandang seseorang terhadap dunia. Haji yang benar akan melahirkan pribadi yang lebih tawadhu, sabar, dan bijaksana. Namun jika haji hanya menjadi ajang untuk pamer kekayaan, kekuasaan, atau status sosial, maka kita patut bertanya: apakah haji kita benar-benar mabrur?

Sebagai penutup, marilah kita kembali meninjau niat dan tujuan ibadah kita, khususnya dalam hal ibadah haji. Apakah kita berhaji untuk memenuhi panggilan Allah, atau sekadar ikut-ikutan demi status sosial? Apakah kita benar-benar berharap ridha Allah atau hanya ingin gelar “haji” di depan nama kita?

Semoga setiap langkah kita menuju Baitullah senantiasa dilandasi keikhlasan, kesungguhan, dan kesadaran bahwa Allah tidak membutuhkan ibadah kita—tetapi kita-lah yang sangat membutuhkan ampunan dan rahmat-Nya.

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.