Pondok Tahfidzul Qur’an Putri Terdekat Mojokerto – Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendengar kisah-kisah mengharukan tentang kebaikan dan belas kasih, terutama terhadap anak-anak yatim. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita pengantar tidur, melainkan cerminan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan spiritualitas yang telah diajarkan dalam berbagai ajaran agama. Mereka menjadi sumber inspirasi tak berujung bagi banyak orang, mengingatkan kita akan kekuatan transformatif dari perbuatan baik kepada sesama, khususnya kepada mereka yang paling rentan, dalam memperoleh berkah dan kebahagiaan sejati dalam hidup.
Salah satu kisah inspiratif yang paling menyentuh dan sarat makna dalam hal ini adalah “Kisah Pedagang Kurma Masuk Surga karena Anak Yatim.” Kisah ini bukan hanya sekadar narasi; ia adalah pelajaran hidup yang menggarisbawahi betapa pentingnya kebaikan kepada anak-anak yatim dan bagaimana perbuatan mulia ini bisa secara harfiah membuka pintu-pintu surga bagi pelakunya.
Daftar isi
TogglePerjalanan Hidup Athiyah bin Khalaf
Alkisah, suatu saat di Mesir, hiduplah seorang pedagang kurma yang sangat kaya raya, bernama Athiyah bin Khalaf. Namanya dikenal luas di kalangan pedagang karena kesuksesan dan kemakmurannya yang luar biasa. Ia memiliki segalanya: harta yang melimpah, reputasi yang baik, dan kehidupan yang nyaman. Namun, kehidupan adalah roda yang terus berputar, dan nasib manusia adalah skenario yang penuh kejutan. Seiring berjalannya roda kehidupan, nasib dan keadaan manusia memang silih berganti, dari keadaan yang menyenangkan menjadi memilukan, dari kaya menjadi sengsara. Tanpa disangka-sangka, musibah datang menimpa Athiyah bin Khalaf. Ia mengalami kebangkrutan besar.
Semua harta kekayaannya, yang telah ia kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun, mendadak hangus tak bersisa. Ia kehilangan segalanya, dan yang tersisa hanyalah pakaian yang ia gunakan untuk menutup auratnya saja. Dari seorang saudagar kaya raya, Athiyah tiba-tiba menjadi seorang yang tak memiliki apa-apa, sehelai baju pun. Keadaan ini tentu saja sangat memukulnya, menguji keimanannya, dan menempatkannya pada titik terendah dalam hidup.
Hari Asyura dan Pertemuan yang Mengubah Nasib
Dilansir Genmuslim dari berbagai sumber Senin, 18 September 2023, ketika hari Asyura (hari kesepuluh bulan Muharram) tiba, sebuah hari yang penuh keberkahan dan signifikansi dalam Islam, Athiyah bin Khalaf, meskipun dalam keadaan terpuruk, tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Ia pergi ke Masjid Amr bin Ash untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah di sana. Masjid Amr bin Ash, salah satu masjid tertua di Mesir, memiliki kebiasaan unik. Masjid tersebut tidak memperkenankan wanita untuk memasuki masjid di hari-hari biasa selain pada hari Asyura, dengan tujuan untuk berdoa bersama-sama di dalamnya. Ini adalah hari di mana komunitas berkumpul, berdoa, dan mencari keberkahan.
Di tengah suasana hening dan khusyuk shalat subuh, di masjid itu, Athiyah bin Khalaf berdoa kepada Allah bersama orang-orang yang hadir saat itu. Ia mungkin memanjatkan doa-doa agar diberikan kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari kesulitan yang menimpanya. Namun, di tengah-tengah munajat itu, takdir mempertemukannya dengan sebuah pemandangan yang menyayat hati. Datanglah seorang wanita bersama anak-anak kecil yang menghampirinya. Wajah wanita itu memancarkan keputusasaan, dan anak-anaknya tampak letih dan lapar. Di saat itu, si wanita kemudian berkata kepada Athiyah dengan suara yang sarat permohonan:
“Wahai tuan, aku meminta kepadamu, demi Allah, semoga engkau bisa meringankan kesulitanku dan sudi memberi sesuatu yang aku gunakan untuk bisa memenuhi kebutuhan makan-makan anak-anak ini. Sungguh, ayah mereka telah meninggal. Dia tidak meninggalkan sesuatu apa pun untuk mereka. Aku adalah syarifah. Aku tidak tahu siapa yang akan aku tuju. Aku tidak pernah keluar kecuali hari ini, itupun karena darurat yang menjadikanku hajat untuk mengorbankan diriku. Dan itu juga bukan merupakan kebiasaanku.”
Dilema dan Keputusan Mulia Athiyah
Mendengar keluh kesah dari syarifah tersebut, hati Athiyah bin Khalaf bergejolak. Ia berada dalam dilema yang sangat berat. Dalam hatinya ia berkata, “Aku tidak mempunyai apa-apa kecuali baju yang kupakai ini. Jika aku lepas, maka tubuhku akan terbuka dan auratku akan terlihat. Namun jika wanita ini aku tolak, lantas alasan apakah yang akan aku sampaikan kepada Rasulullah saw kelak?” Ini adalah momen krusial bagi Athiyah. Ia bisa saja menolak, mengingat kondisinya yang juga sedang dalam kesulitan. Namun, ia memilih untuk mengutamakan kemanusiaan dan belas kasihan. Pertimbangan akan pertanggungjawabannya di hadapan Rasulullah SAW kelak menunjukkan betapa kuatnya keimanan dan ketakwaannya, meskipun dalam keadaan paling terpuruk.
Lantas, Athiyah, dengan keberanian dan keikhlasan yang luar biasa, berkata kepada wanita tersebut: “Mari pergi (ke rumah) bersamaku. Aku akan memberimu sesuatu.” Kata-kata ini adalah penanda sebuah keputusan besar, sebuah tindakan yang melampaui batas kemampuan materi, didorong oleh keikhlasan hati.
Kemudian wanita itu pergi mengikuti Athiyah menuju rumahnya. Rumah Athiyah yang dulunya megah, kini mungkin terlihat sederhana, namun ia tetap menjamu tamunya dengan sebaik-baiknya. Sesampainya di rumah, Athiyah menempatkannya di depan rumahnya, sementara dirinya masuk untuk melepas bajunya. Ia menggunakan sarung lusuh yang ia punya sebagai penutup auratnya yang tersisa. Ini menunjukkan betapa ia benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi selain pakaian yang melekat di tubuhnya.
Doa Tulus yang Mengubah Takdir
Selanjutnya ia memberikan baju yang ia lepas tadi kepada wanita tersebut dari samping pintunya. Melihat keikhlasan dan kebaikan Athiyah, meskipun ia sendiri sedang dalam kesulitan, wanita itu merasa sangat terharu. Kemudian wanita itu berkata kepadanya dengan tulus, sebuah doa yang mungkin tidak disadari dampaknya oleh Athiyah saat itu: “Semoga Allah memberikan pakaian-pakaian surga kepadamu, sehingga engkau tidak butuh kepada orang lain selama hidupmu.”
Mendengar doa yang begitu agung dan tulus dari wanita syarifah tersebut, Athiyah merasa sangat bahagia dan senang. Bukan karena ia mengharapkan balasan, tetapi karena ia telah mampu berbuat kebaikan di tengah keterbatasannya. Ia pun mempersilakan wanita tersebut untuk pulang, kemudian ia masuk ke dalam rumahnya dengan hati yang lapang.
Di dalam rumahnya, Athiyah tenggelam dalam dzikir kepada Allah SWT hingga larut malam. Ia mungkin merenungi kejadian hari itu, bersyukur atas kesempatan untuk berbagi, dan memohon ampunan serta petunjuk. Kemudian ia tertidur pulas.
Mimpi Indah dan Janji Surga
Di saat Athiyah tidur, ia bermimpi. Sebuah mimpi yang begitu nyata dan indah. Ia melihat bidadari yang belum pernah ia lihat wanita yang lebih cantik darinya. Bidadari itu memancarkan cahaya dan keharuman yang luar biasa. Di tangan bidadari itu ada apel yang baunya mengharumkan langit dan bumi. Aroma harum itu memenuhi seluruh ruangan, bahkan hingga ke seluruh penjuru alam. Buah apel itu kemudian dibelah dan diberikan kepada Athiyah. Dari belahan apel itulah keluar pakaian surga yang keindahannya, kemewahannya, dan nilainya tidak sebanding dengan dunia dan seisinya.
Kemudian pakaian itu dikenakannya pada Athiyah, seolah-olah ia sedang mengenakan pakaian kehormatan yang paling mulia. Lalu, dengan penuh kelembutan, bidadari itu duduk di pangkuannya. Athiyah, yang terpesona dengan keindahan dan keajaiban mimpinya, bertanya kepada bidadari tersebut: “Siapakah kamu ini?”
Dengan senyum manis, bidadari itu menjawab: “Aku adalah Asyura, istrimu di surga.” Nama “Asyura” ini merujuk pada hari di mana Athiyah berbuat kebaikan, sebuah simbol betapa perbuatannya pada hari itu telah membuahkan hasil yang luar biasa.
Terkejut dan takjub, Athiyah kembali bertanya: “Dengan amal apakah aku memperoleh kemuliaan ini?” Ia ingin memahami amal apa yang telah mengantarkannya pada kemuliaan setinggi ini.
Kemudian bidadari itu menjawab, dengan suara yang lembut namun penuh makna: “Dengan seorang janda miskin dan anak-anak yatim yang kemarin engkau berbuat baik kepadanya.” Jawaban ini adalah penegasan bahwa perbuatan kebaikan sekecil apapun, terutama kepada mereka yang membutuhkan, akan dibalas dengan balasan yang jauh lebih besar oleh Allah SWT.
Akhir yang Indah dan Inspirasi Abadi
Di saat itulah kemudian Athiyah bin Khalaf terbangun dari tidurnya. Ia masih merasakan sensasi mimpi itu, dan yang paling menakjubkan, bau rumahnya sudah sangat harum, seolah aroma apel surgawi dari mimpinya telah benar-benar memenuhi ruangannya. Ia sangat senang dan bahagia atas mimpi tersebut, karena mimpi itu menjadi isyarat nyata akan kebenaran janjinya.
Kemudian ia segera berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat sebagai bentuk syukur yang mendalam kepada Allah SWT. Setelah selesai melakukan shalat sunnah, ia kemudian memanjatkan doa yang keluar dari lubuk hatinya, sebuah doa yang mencerminkan kerinduannya akan janji yang telah diperlihatkan: “Wahai Tuhanku, jika mimpiku itu benar, dan bidadari dalam mimpiku itu adalah istriku di dalam surga, maka matikanlah aku saat ini juga untuk bertemu dengan-Mu.”
Permohonan ini adalah puncak dari keimanannya. Ia tidak lagi mengharapkan harta dunia, melainkan hanya ingin segera bertemu dengan Tuhannya dan menikmati janji surga yang telah diperlihatkan kepadanya. Dan sungguh luar biasa, belum selesai doa itu dipanjatkan, Allah menyegerakan ruh Athiyah bin Khalaf ke surga Darussalam. Ia meninggal dunia dalam keadaan yang paling mulia, di tengah munajat dan kerinduannya kepada Allah.
Pelajaran Penting dari Kisah Athiyah bin Khalaf
Itulah kisah Athiyah bin Khalaf. Seorang pedagang kurma yang bangkrut, yang kemudian Allah masukkan ke dalam surga setelah kematiannya disebabkan bersedekah baju kepada anak yatim. Kisah ini adalah bukti nyata bahwa kebaikan tidak akan pernah sia-sia. Bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun, tindakan mulia yang dilandasi keikhlasan dapat membawa keberkahan yang tak terhingga, bahkan hingga ke akhirat.
Kisah Athiyah bin Khalaf ini menjadi pengingat yang kuat bagi kita semua. Ini bukan hanya tentang memberi materi, tetapi tentang memberi dengan hati, dengan empati, dan dengan keyakinan penuh akan balasan dari Allah SWT. Semoga kisah inspiratif ini bisa menginspirasi kita semua untuk semangat dalam menyantuni dan merawat anak yatim, serta senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, karena setiap perbuatan baik yang kita lakukan, sekecil apa pun, berpotensi membuka pintu-pintu keberkahan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca juga Kisah Utsman bin Mazh’un, Ditegur Rasulullah agar Tak Berlebihan dalam Ibadah
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.