Kisah Inspiratif Sulaiman bin Yasar dalam Menjaga Diri dari Zina

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Putri Terbaik Mojokerto – Pada lembaran sejarah Islam, terukir indah kisah-kisah teladan yang tak lekang oleh waktu, mengajarkan kita tentang keteguhan iman dan perjuangan melawan hawa nafsu. Salah satu kisah yang patut direnungkan adalah perjalanan hidup Sulaiman bin Yasar Al Hilali Al Madani, seorang tabi’in agung yang lahir pada tahun 34 Hijriyah, di penghujung masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Dikenal dengan julukan Abu Ayyub, beliau memiliki ikatan mulia sebagai maula (budak yang dimerdekakan) dari Maimunah binti Al Harits, salah satu istri tercinta Nabi Muhammad SAW.

Sulaiman bin Yasar bukanlah sosok biasa. Keilmuan dan ketakwaannya telah diakui oleh para ulama besar. Imam Adz Dzahabi, seorang sejarawan dan ahli hadits terkemuka, bersaksi, “Beliau adalah ahli Fiqih, imam, sekaligus mufti bagi penduduk kota Madinah.” Kesaksian ini diperkuat oleh Ibnu Ma’in yang menyifatinya sebagai ahli Fiqih dan meriwayatkan banyak hadits. Bahkan, Abu Zur’ah turut memuji beliau dengan mengatakan, “Beliau adalah orang yang dapat dipercaya, mulia, dan ahli ibadah.” Julukan-julukan ini menggambarkan betapa tingginya kedudukan beliau di mata para ulama dan masyarakat pada masanya. Beliau adalah mercusuar ilmu dan teladan dalam ketaatan, membimbing umat dengan fatwa dan ajaran-ajaran yang sahih.

Godaan di Tengah Kesendirian

Kehidupan seorang tabi’in tidak selalu mulus, penuh dengan ujian yang menguji kekuatan iman. Salah satu kisah paling terkenal yang menunjukkan keteguhan Sulaiman bin Yasar diriwayatkan oleh Imam Al Ghazali dalam kitab legendarisnya, Ihya’ Ulumiddin, jilid III, halaman 105. Kisah ini menggambarkan bagaimana Sulaiman bin Yasar menghadapi godaan syahwat yang datang secara tak terduga.

Pada suatu hari, Sulaiman bin Yasar berada sendirian di rumahnya. Suasana hening dan privasi yang sempurna tiba-tiba terusik oleh kehadiran seorang perempuan yang amat cantik jelita. Perempuan itu, tanpa ragu, langsung mengajak Sulaiman untuk bersetubuh. Sebuah tawaran yang menggiurkan bagi sebagian besar laki-laki, terutama di tengah kesendirian dan tanpa pengawasan. Namun, keimanan Sulaiman bin Yasar tak goyah sedikit pun. Dengan tegas dan tanpa kompromi, beliau menolak ajakan tersebut. Tidak hanya menolak, beliau bahkan memilih untuk lari meninggalkan perempuan cantik itu dari rumahnya, menunjukkan betapa besar ketakutannya akan dosa dan betapa kuat keinginannya untuk menjaga kesucian diri. Tindakan ini bukanlah bentuk kelemahan, melainkan manifestasi kekuatan iman yang luar biasa.

Malam harinya, setelah melewati ujian berat itu, Sulaiman bin Yasar mendapatkan sebuah anugerah spiritual berupa mimpi. Dalam mimpinya, beliau berjumpa dengan seorang Nabi yang agung, Nabi Yusuf AS. Sulaiman pun bertanya kepada Nabi Yusuf, “Apakah engkau adalah Nabi Yusuf?”. Dengan tenang, Nabi Yusuf menjawab, “Iya. Saya adalah Nabi Yusuf yang menghendaki dan menyukai Zulaikha, dan kamu adalah Sulaiman yang tidak menghendaki perempuan yang menggodamu.”

Ungkapan Nabi Yusuf ini sarat makna. Beliau mengagumi keteguhan Sulaiman bin Yasar yang tidak tergoda sedikit pun, bahkan ketika dihadapkan pada godaan yang begitu besar dari seorang perempuan cantik. Sikap Sulaiman yang menolak dengan tegas, bahkan melarikan diri, menunjukkan level iffah (menjaga diri dari perbuatan haram) yang sangat tinggi. Hal ini berbeda dengan pengalaman Nabi Yusuf sendiri. Meskipun pada akhirnya Nabi Yusuf berhasil melawan hawa nafsunya dan tetap menjaga kesucian dirinya, beliau mengakui bahwa ada momen di mana beliau sempat tergoda dan memiliki hasrat untuk bersetubuh dengan Zulaikha. Kisah ini diabadikan dalam firman Allah SWT:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَاۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ

Artinya: “Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf: 24)

Ayat ini secara jelas menggambarkan perjuangan batin Nabi Yusuf. Sementara Sulaiman bin Yasar, dalam kisah mimpinya, diakui memiliki tingkat ketahanan yang lebih murni, seolah-olah hatinya sama sekali tidak terbersit keinginan untuk berbuat maksiat. Ini adalah cerminan dari kesucian hati dan kemurnian jiwa yang luar biasa.

Godaan di Tengah Perjalanan Haji

Keteguhan Sulaiman bin Yasar kembali diuji dalam perjalanan yang lebih menakjubkan. Kali ini, ujian datang saat beliau menunaikan ibadah haji. Kisah ini juga diceritakan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, dan menunjukkan betapa Allah menguji hamba-Nya yang beriman dengan cara yang berbeda-beda.

Suatu hari, Sulaiman bin Yasar berangkat haji bersama salah satu temannya. Mereka meninggalkan kota Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah tempat bernama Al Abwa’. Mereka mendirikan tenda untuk bermalam. Temannya kemudian pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan, meninggalkan Sulaiman sendirian di dalam tenda.

Tak berselang lama, saat Sulaiman sedang sendiri, datanglah seorang perempuan Badui yang sangat cantik. Perempuan itu, yang rupanya telah mengetahui keberadaan Sulaiman, merasa tergoda oleh ketampanannya. Tanpa rasa malu, perempuan itu bergegas menemui Sulaiman yang sedang duduk sendirian di dalam tenda. Ketika sampai di hadapan Sulaiman, perempuan itu langsung membuka cadarnya, menampakkan kecantikan wajahnya yang digambarkan bagaikan belahan bulan. Dengan lugas, perempuan itu berkata, “Wahai tuan, buatlah aku merasa senang!”

Sulaiman bin Yasar, dengan kesucian hatinya, salah memahami maksud perempuan tersebut. Beliau menyangka bahwa perempuan itu menginginkan makanan yang ada di dalam tendanya. Maka, dengan niat baik, beliau langsung mengambil makanan tersebut dan memberikannya kepada perempuan Badui itu.

Melihat kesalahpahaman Sulaiman bin Yasar, perempuan Badui itu pun menjelaskan maksud sebenarnya dengan terus terang. “Aku tidak menginginkan makanan ini, melainkan aku ingin engkau menyetubuhiku sebagaimana hubungan yang dilakukan oleh suami dengan istrinya.” Mendengar ungkapan yang vulgar dan ajakan maksiat tersebut, Sulaiman bin Yasar tidak tinggal diam. Dengan suara tegas yang menunjukkan kemarahan dan ketakutan akan dosa, beliau berkata kepadanya, “Bersiaplah bertemu dengan iblis!” Kemudian, dengan segera, beliau menaruh kepalanya di antara kedua lututnya sambil menangis ketakutan yang mendalam. Tangisan itu bukan karena nafsu yang bergejolak, melainkan karena rasa takut kepada Allah dan ancaman neraka.

Melihat reaksi Sulaiman bin Yasar yang begitu tulus dan ketakutan akan dosa, perempuan Badui itu seketika tersadar. Ia langsung menutup kembali wajahnya dengan cadar, dan pergi meninggalkan Sulaiman. Tak lama setelah itu, teman Sulaiman kembali dan mendapati Sulaiman sedang menangis. Temannya bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Sulaiman bin Yasar, yang masih diliputi rasa malu dan ingin menyembunyikan kejadian itu, membohonginya dengan mengatakan, “Sesuatu yang baik, aku merindukan anak perempuanku.”

Namun, teman Sulaiman bin Yasar tidak puas dengan jawaban itu. Ia merasa ada yang tidak beres dan terus-menerus mendesak Sulaiman untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Akhirnya, setelah didesak berkali-kali, Sulaiman bin Yasar menceritakan peristiwa yang dialaminya, tentang perempuan Badui cantik yang mendatanginya dan mengajaknya berhubungan badan.

Setelah mendengar kisah yang sebenarnya, teman Sulaiman bin Yasar pun ikut menangis. Melihat temannya menangis, Sulaiman bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Temannya menjawab, “Aku yang lebih berhak menangis dibanding kamu, karena saya merasa takut, seandainya aku yang berada di posisimu maka aku tidak bisa menahan nafsuku, sehingga aku menuruti ajakan perempuan Badui tersebut.” Mendengar pengakuan jujur temannya itu, mereka berdua sama-sama menangis, merasakan betapa dahsyatnya godaan syahwat dan betapa mulianya keteguhan iman Sulaiman bin Yasar.

Anugerah Mimpi di Bawah Hajar Aswad

Perjalanan mereka kemudian berlanjut menuju Makkah. Sesampainya di Makkah, Sulaiman bin Yasar dan temannya segera menunaikan ibadah haji. Di tengah ibadah yang penuh kekhusyukan itu, Sulaiman bin Yasar menyempatkan diri untuk mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya. Setelah itu, beliau memilih untuk duduk di bawah Hajar Aswad, memeluk lututnya, dan tertidur.

Dalam tidurnya, Sulaiman bin Yasar kembali mendapatkan mimpi yang luar biasa. Beliau bermimpi bertemu dengan seorang lelaki tampan dan amat wangi. Lelaki itu berkata kepada Sulaiman bin Yasar, “Semoga Allah Swt merahmatimu wahai Sulaiman.” Sulaiman bin Yasar, penasaran, bertanya kepadanya, “Kamu siapa?” Lelaki itu menjawab, “Aku adalah Yusuf.” Sulaiman bin Yasar ingin memastikan, “Apakah yang kamu maksud adalah Nabi Yusuf?” Lelaki itu menegaskan, “Iya.”

Mengetahui bahwa yang muncul dalam mimpinya adalah Nabi Yusuf AS, Sulaiman bin Yasar langsung menunjukkan kekagumannya terhadap Nabi Yusuf, karena beliau mampu menahan hawa nafsunya ketika digoda oleh Zulaikha. Namun, Nabi Yusuf, dengan rendah hati, mengelak dan menjawabnya dengan mengungkapkan kenyataan bahwa peristiwa yang dialami oleh Sulaiman bin Yasar lebih mengagumkan dibanding yang dialami oleh Nabi Yusuf dan Zulaikha. Ini adalah pengakuan langsung dari seorang Nabi yang mulia, yang menunjukkan betapa tingginya derajat ketakwaan dan iffah Sulaiman bin Yasar.

Refleksi dan Hikmah

Dua kisah ini, yang diceritakan di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang terdahulu, khususnya para ulama besar, memiliki sifat iffah yang sangat tinggi. Mereka dihadapkan pada godaan yang sangat kuat untuk berzina dan mendekati kemaksiatan. Namun, dengan kekuatan iman, ketakwaan, dan ketulusan hati, mereka mampu menahan hawa nafsu mereka. Mereka memilih untuk tetap berada di jalan Allah SWT, menjaga kesucian diri mereka dari segala bentuk dosa.

Kisah Sulaiman bin Yasar ini menjadi pengingat yang berharga bagi kita semua. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks dan godaan maksiat yang kian merajalela, keteladanan beliau mengajarkan kita pentingnya menjaga pandangan, hati, dan perbuatan. Iffah bukanlah sekadar menahan diri dari hubungan seksual di luar nikah, tetapi juga mencakup menjaga kesucian diri dari segala hal yang dapat menyeret kita pada kemaksiatan, baik dalam pikiran, ucapan, maupun tindakan.

Semoga kisah mulia Sulaiman bin Yasar ini dapat menginspirasi kita untuk senantiasa memperkuat iman, menahan diri dari godaan syahwat, dan selalu berada di jalan yang diridai Allah SWT.

Baca juga Kisah Raja Bangun Istana, Robohkan Gubuk Si Nenek Miskin

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.