Kisah Peringatan Azab Kubur Akibat Ghibah dan Adu Domba

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Putri Terbaik Mojokerto – Sebuah kisah tragis dan penuh pelajaran datang dari seorang pemuda yang menjalani kehidupannya terpisah dari keluarga intinya, mengejar mimpinya di perantauan. Adiknya, yang masih belia, tinggal bersama ibu mereka di sudut kota, merasakan sakit yang tak tertahankan. Kabar pilu itu sampai ke telinga sang pemuda di tengah kesibukannya. Tanpa membuang waktu, ia segera pulang ke kampung halaman, bergegas menjenguk adiknya dengan hati penuh harap. Namun, takdir berkata lain; hanya berselang beberapa saat setelah ia tiba, adiknya menghembuskan napas terakhirnya.

Penyesalan mendalam menyelimuti hati pemuda itu. Rasa bersalah menghantuinya, seolah ia telah gagal dalam menjaga dan melindungi keluarganya di saat yang paling dibutuhkan. Dalam upaya menebus kesalahannya dan sebagai bentuk cinta terakhirnya, ia bertekad untuk mengurus seluruh prosesi pemakaman adiknya seorang diri. Mulai dari memandikan jenazah dengan penuh kasih sayang, mengkafani, hingga menguburkannya. Bahkan, ia sendiri yang turun ke liang lahat, dengan kedua tangannya sendiri meletakkan jenazah sang adik tercinta di peristirahatan terakhirnya. Setiap gumpalan tanah yang ia ratakan terasa begitu berat, seberat beban di dadanya.

 

Setelah proses pemakaman yang mengharukan usai, pemuda itu kembali ke rumah dengan langkah gontai dan hati yang hampa. Namun, tak lama berselang, sebuah kesadaran mengejutkan menghampirinya: dompetnya hilang. Terbesit dalam ingatannya bahwa dompetnya mungkin terjatuh di liang lahat saat ia sibuk dengan proses penguburan. Sebuah desakan cemas memenuhi benaknya. Dengan perasaan tidak enak namun tak punya pilihan lain, ia segera meminta bantuan seorang sahabatnya yang setia untuk kembali ke pemakaman dan menggali kembali makam adiknya.

Keduanya tiba di pemakaman yang sepi, diterangi cahaya rembulan. Dengan hati-hati, mereka mulai menggali, memeriksa setiap gumpalan tanah yang terangkat, berharap menemukan dompet tersebut tanpa mengganggu jenazah. Benar saja, ketika galian mereka mendekati posisi jenazah, dompet yang dicari-cari akhirnya ditemukan. “Tolong menyingkir sebentar, aku ingin melihat keadaan adikku,” pinta pemuda itu kepada sahabatnya, suaranya bergetar menahan kesedihan dan rasa ingin tahu. Sahabatnya memahami keinginan tersebut dan dengan hormat keluar dari liang lahat, memberikan privasi bagi pemuda itu untuk sejenak berdua dengan jenazah adiknya, merasakan perpisahan yang takkan terulang.

 

Namun, momen privasi itu berubah menjadi pemandangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Saat pemuda itu mencoba menyingkap kain kafan adiknya dengan tangan gemetar, sebuah pemandangan mengerikan menyambutnya. Api berpijar dengan dahsyat, menyemburat dari dalam kubur, dan seolah siap melahap jenazah adiknya. Aroma hangus dan hawa panas yang menyengat langsung menerpa wajahnya. Terkejut, panik, dan diliputi kengerian yang luar biasa, ia segera meloncat keluar dari liang lahat dan meminta sahabatnya untuk segera menutup kembali makam tersebut. Dengan kecepatan kilat, mereka menimbun kembali tanah, berusaha menyembunyikan kenyataan pahit yang baru saja disaksikan. Beruntung, sahabatnya tidak terlalu menyadari apa yang baru saja terjadi, mungkin mengira pemuda itu hanya terkejut melihat kondisi jenazah atau sekadar dilanda kesedihan mendalam.

 

Pikiran pemuda itu kalut, hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak pernah menyangka adiknya yang tercinta harus merasakan siksa kubur yang begitu pedih, azab yang begitu nyata di hadapan matanya. Sesampainya di rumah, dengan hati yang remuk dan jiwa yang terguncang, ia mendekati ibunya. Dengan suara pelan dan berbisik, ia bertanya, “Ibu, ceritakan padaku, bagaimana adikku menjalani hidupnya di dunia ini? Apa yang ia perbuat selama hidupnya?” Ibunya, yang merasa aneh dengan pertanyaan putranya yang tiba-tiba, balik bertanya alasan di balik pertanyaan tersebut. Pemuda itu pun kemudian menceritakan kejadian mengerikan yang baru saja ia alami di pemakaman, tanpa menyembunyikan sedikitpun detail api yang menyala di dalam kubur.

 

Namun, sang ibu tidak terkejut sedikit pun. Sebuah pandangan sendu menerawang jauh ke masa lalu, seolah sedang menelusuri jejak-jejak kehidupan putrinya yang telah tiada, sebelum akhirnya mulai bercerita dengan suara lirih yang sarat penyesalan. “Dahulu, adikmu punya kebiasaan buruk yang tak dapat ia tinggalkan. Ia gemar sekali mendatangi pintu-pintu rumah tetangga. Bukan untuk bersilaturahmi atau bertanya kabar, melainkan ia menempelkan telinganya di daun pintu, mencuri dengar setiap pembicaraan yang terjadi di dalam rumah.” Sang ibu menghela napas berat, melanjutkan, “Ketika ia berhasil mendapatkan informasi, sekecil apa pun itu, ia akan segera menyebarkannya. Ia sering melakukan ghibah, membicarakan keburukan orang lain di belakang mereka, bahkan seringkali menambah-nambahi cerita tersebut hingga menjadi fitnah yang menyakitkan. Yang lebih parah lagi, ia tak jarang melakukan adu domba antar tetangga, memprovokasi konflik dan perselisihan yang mengakibatkan rusaknya tali silaturahmi di antara mereka.”

 

Mendengar penuturan ibunya yang gamblang, pemuda itu akhirnya memahami dengan jelas penyebab azab kubur yang begitu mengerikan menimpa adiknya. Kisah ini, yang begitu menggugah kesadaran, ditutup oleh Hujjatul Islam, Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, atau yang lebih dikenal luas sebagai Imam Ghazali, seorang ulama besar dan pemikir Islam yang karyanya menjadi rujukan jutaan umat. Dalam salah satu karyanya yang monumental, Kitab Mukasyafatul Qulub Al-Muqarrib ila Hadrati ‘Alamil Ghuyub fi ‘Ilmi Tasawuf, pada halaman 71, Imam Ghazali menyampaikan pesan yang tegas dan penuh hikmah: “Maka barang siapa yang ingin selamat dari azab kubur, hendaknya ia menjauhi perkara adu domba dan ghibah.” Pesan ini mengingatkan kita akan betapa pentingnya menjaga lisan dan hati, serta menjauhi dosa-dosa lisan yang dapat membawa kehancuran baik di dunia maupun di akhirat. Ghibah dan adu domba, dalam ajaran Islam, adalah dosa besar yang dapat merusak tatanan sosial dan memutus silaturahmi, dan balasannya di alam kubur adalah peringatan keras bagi kita semua.

Baca juga Kisah Orang yang Masuk Surga Berkat Singkirkan Duri Jalanan

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.