Kisah Raja Bangun Istana, Robohkan Gubuk Si Nenek Miskin

Pondok Tahfidz Putri Modern Mojokerto – Kekuasaan seringkali menjadi ujian terberat bagi jiwa manusia. Dalam balutan wewenang, batas antara keadilan dan kesewenang-wenangan menjadi samar, dan tak jarang, seorang pemimpin tergelincir dalam jurang kezaliman. Kisah-kisah tentang raja atau pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas rakyatnya bukanlah hal baru, dan ajaran Islam dengan tegas menyoroti bahaya serta konsekuensi dari perbuatan tersebut. Salah satu kisah yang sarat akan pelajaran berharga, sebagaimana termaktub dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin karya Ibnul Jauzi, adalah cerita tentang seorang raja yang arogan dan seorang nenek miskin yang saleh.

Keangkuhan Kekuasaan dan Gubuk Sang Nenek

Kisah ini diceritakan oleh Abdul mun’im yang bersumber dari ayahnya, Wahab. Alkisah, seorang raja berambisi untuk membangun istana yang menjulang tinggi, megah, dan mencerminkan kemewahan yang tak tertandingi di atas tanah miliknya. Di tengah hiruk pikuk pembangunan istana tersebut, hiduplah seorang nenek muslimah yang sederhana. Dengan niat tulus untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, nenek tersebut mendirikan sebuah gubuk kecil. Gubuk ini bukanlah bagian dari kemewahan istana sang raja, melainkan berdiri di luar area kompleks istana, menjadi simbol kesederhanaan dan ketakwaan di tengah kemegahan duniawi.

Suatu hari, sang raja, dengan segala kebanggaannya, berkeliling memeriksa halaman istananya yang luas. Tatkala pandangannya tertumbuk pada gubuk reot sang nenek, ia merasa terganggu. Kemegahan istananya seolah tercoreng oleh keberadaan gubuk sederhana itu. Dengan nada ketus, sang raja bertanya, “Apa ini?” Seorang pengawalnya segera menjawab, “Ini adalah tempat tinggal seorang perempuan, Baginda.” Tanpa pikir panjang, terbutakan oleh keangkuhan dan rasa memiliki yang berlebihan, sang raja memerintahkan untuk merobohkan gubuk tersebut.

Perintah raja pun dilaksanakan. Pada saat gubuk itu dirobohkan, nenek muslimah tersebut kebetulan tidak berada di tempat. Sekembalinya sang nenek, ia terkejut melihat gubuknya yang menjadi tempatnya beribadah telah rata dengan tanah. Dengan hati yang hancur namun tetap tegar, ia bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, “Siapa yang merobohkan gubuk ini?” Orang-orang menjawab dengan rasa takut, “Tadi sang raja lewat, dan melihat gubukmu. Lantas, sang raja menyuruh untuk merobohkan gubukmu tersebut.”

Doa Orang Terzalimi dan Murka Ilahi

Mendengar penuturan tersebut, nenek itu tidak melampiaskan amarahnya kepada manusia. Ia justru mengangkat kedua tangannya ke langit, memanjatkan doa yang penuh keyakinan dan ketawakalan kepada Sang Pencipta. Dengan suara yang lirih namun menggetarkan, ia berucap:

يا رب أنا لم أكن، فأنت أين كنت

Artinya: Wahai Tuhan, tadi saya sedang tidak ada, tetapi Engkau selalu ada dan mengetahui apa yang terjadi.

Doa ini adalah manifestasi dari keimanan yang teguh, bahwa meskipun ia tidak berada di tempat saat kezaliman menimpanya, Allah SWT senantiasa Maha Melihat dan Maha Mengetahui setiap perbuatan hamba-Nya. Keyakinan sang nenek akan keadilan ilahi sangatlah besar.

Tak lama setelah doa tulus sang nenek terucap, sebuah peristiwa dahsyat terjadi. Allah SWT, dengan keagungan-Nya, memerintahkan Malaikat Jibril untuk meruntuhkan istana mewah yang dibangun oleh sang raja. Kehancuran itu tidak hanya menimpa bangunan megah tersebut, tetapi juga menimpa semua orang yang berada di dalamnya, termasuk sang raja yang zalim. Ini adalah balasan kontan dari Allah SWT atas kezaliman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh seorang pemimpin.

Pelajaran Penting Kepemimpinan yang Adil dan Konsekuensi Kezaliman

Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat mendalam dan relevan sepanjang masa, terutama bagi para pemimpin. Menjadi seorang pemimpin bukanlah lisensi untuk berbuat zalim dan seenak kemauannya sendiri. Kekuasaan adalah amanah yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam kepemimpinan. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang senantiasa menempatkan kemaslahatan rakyatnya di atas segalanya, tidak membedakan antara yang mendukung atau tidak. Sebaliknya, pemimpin yang zalim akan mendapatkan balasan setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.

Ancaman Terhadap Pemimpin Zalim dalam Hadis dan Al-Qur’an

Hadis Rasulullah SAW dengan tegas melarang seorang pemimpin untuk mengambil tanah milik orang lain secara zalim. Ini menunjukkan betapa seriusnya perbuatan merampas hak orang lain, bahkan sekadar sejengkal tanah sekalipun.

من ظلم من الأرض شيئاً طُوِّقَه من سبع أرضين

Artinya: Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi. (HR. Bukhari).

Ancaman ini bukan hanya sekadar peringatan, melainkan janji balasan yang mengerikan bagi mereka yang berani melanggar hak-hak sesamanya. Kalungan tujuh lapis bumi adalah gambaran betapa beratnya dosa kezaliman tersebut.

Lebih lanjut, Al-Qur’an juga menegaskan konsekuensi bagi para pemimpin yang zalim dan melakukan kesewenang-wenangan. Mereka tidak hanya akan menerima laknat di dunia, tetapi juga di akhirat.

يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ .وَأَتْبَعُوا فِي هَذِهِ لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ بِئْسَ الرِّفْدُ الْمَرْفُودُ {هود [١١] : ٩٨-٩٩

Artinya: Ia (para pemimpin zalim dan melakukan kesemena-menaan) berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka (para pengikutnya) ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. Dan mereka (pemimpin dan pengikutnya yang melakukan kezaliman dan kesemena-menaan) selalu diikuti dengan kutukan (laknat) di dunia ini dan (begitu pula laknat) di hari kiamat. La’nat itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.” (QS. Hud [11] : 98-99)

Ayat ini menggambarkan betapa mengerikannya nasib para pemimpin zalim di hari kiamat. Mereka akan menjadi penyebab kaumnya tersesat dan masuk neraka, dan mereka akan senantiasa dilaknat, baik di dunia maupun di akhirat. Laknat ini adalah seburuk-buruk pemberian, menunjukkan kehinaan dan penyesalan yang tiada akhir.

Bahkan, Rasulullah SAW pernah menjelaskan bahwa ada dua golongan yang tidak akan mendapatkan syafa’at beliau kelak di akhirat. Salah satunya adalah pemimpin yang zalim dan merampas hak rakyatnya dengan kesewenang-wenangan.

صنفاني من أمتي لن تنالهما شفاعتي، إمام ظلوم وكل غال مارق. رواه الطبراني ، إسناده ثقات

Artinya: Ada dua golongan dari umatku, selamanya mereka tidak akan mendapatkan kelak akan syafa’atku, mereka itu adalah para pemimpin zalim yang melakukan kesemena-menaan, dan siapa saja orang-orang (ahli agama) yang memiliki sifat ghulu (Tasyaddud atau keras dengan mudah untuk mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat dengannya)” (HR. At-Thabrani)

Ini adalah peringatan yang sangat serius. Kehilangan syafa’at Rasulullah SAW berarti kehilangan harapan terbesar untuk keselamatan di hari perhitungan.

Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua, terutama bagi mereka yang memegang tampuk kekuasaan, akan pentingnya berlaku adil dan menjauhi kezaliman. 

Baca juga Kisah Ketika Nabi Muhammad Diganggu Jin

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.