Pondok Tahfidzul Qur’an Putri Terbaik Mojokerto – Umat Islam senantiasa diberkahi dengan kekayaan sumber tokoh yang layak dijadikan suri teladan. Dari sekian banyak pribadi mulia, Utsman bin Mazh’un adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang kisah hidupnya sarat akan pelajaran berharga. Sirah perjalanan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan utama, serta kehidupan para sahabatnya, merupakan bekal penting bagi umat Islam dalam mengarungi dinamika kehidupan dunia.
Para Sahabat Nabi SAW memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Mereka bagaikan prajurit siap siaga yang selalu menanti titah dari pemimpinnya, Rasulullah SAW. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa, mereka memiliki beragam watak dan perilaku. Salah satu sifat menonjol yang kerap ditemukan pada diri para sahabat adalah kemauan keras mereka dalam menjalankan setiap titah. Saking besarnya semangat tersebut, terkadang ada di antara mereka yang menunjukkan kecenderungan berlebihan hingga akhirnya ditegur langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Kisah Utsman bin Mazh’un menjadi contoh nyata dari fenomena ini.
Daftar isi
ToggleMengenal Sosok Utsman bin Mazh’un
Utsman bin Mazh’un adalah seorang sahabat terkemuka dari kalangan Muhajirin. Nama lengkapnya adalah Utsman bin Mazh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah bin Jumah bin Amr bin Husyaish bin Ka’ab Al-Jumahi. Ia dikenal dengan kunyahnya, Abu Saib.
Sejarawan terkemuka, Ad-Dzahabi, dalam kitabnya menyebutkan bahwa Utsman bin Mazh’un termasuk dalam barisan pimpinan Muhajirin. Lebih dari itu, beliau adalah salah satu dari wali Allah yang bertakwa dan termasuk di antara orang-orang yang meraih kebahagiaan besar karena dishalati langsung oleh Nabi SAW ketika wafatnya. Ad-Dzahabi menulis:
مِنْ سَادَةِ المُهَاجِرِيْنَ، وَمِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ المُتَّقِيْنَ، الَّذِيْنَ فَازُوا بِوَفَاتِهِم فِي حَيَاةِ نَبِيِّهِم، فَصَلَّى عَلَيْهِم, وَكَانَ أَبُو السَّائِبِ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- أَوَّلَ مَنْ دُفِنَ بِالبَقِيْعِ
Artinya: “Ia termasuk pembesar Muhajirin, bagian kekasih Allah, yang bertakwa, termasuk sahabat yang berbahagia dengan kewafatannya pada masa kehidupan Nabi saw sehingga beliau menshalatinya. Ia adalah orang pertama yang dikuburkan di Baqi’” (Ad-Dzhabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Beirut: Muassasah ar-Risalah], juz I, halaman 153).
Keutamaan ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan Utsman bin Mazh’un di mata Allah dan Rasul-Nya, serta dihormati oleh para sahabat lainnya. Beliau adalah salah satu pionir yang dimakamkan di pemakaman Baqi’, Madinah.
Kekeliruan dalam Semangat Beribadah
Al-Kisah, Utsman bin Mazh’un menunjukkan semangat beribadah yang luar biasa, namun dalam beberapa aspek, ia terlihat berlebihan. Saking dalamnya keinginannya untuk fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, ia bahkan pernah meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang moderat.
Dalam sebuah riwayat, Utsman bin Mazh’un mengungkapkan keinginannya yang mendalam kepada Rasulullah SAW:
أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ أَذِنْتَ لِي فَطَلَّقْتُ خَوْلَةَ، وَتَرَهَّبْتُ وَاخْتَصَيْتُ وَحَرَّمْتُ اللَّحْمَ، وَلَا أَنَامُ بِلَيْلٍ أَبَدًا، وَلَا أُفْطِرُ بِنَهَارٍ أَبَدً
Artinya: “Utsman berkata (meminta izin) kepada Nabi saw: “Jika Engkau mengizinkan, Aku akan mentalaq Khaulah. Aku akan menjadi rahib (tidak menikah), aku akan mengosongkan diriku, mengharamkan daging, tidak tidur di malam hari (untuk beribadah) dan tidak makan di siang hari (berpuasa) selamanya.” (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul kutub al-Misriyah, cet 2, 1964], juz XVIII, halaman 87).
Permintaan Utsman bin Mazh’un ini menunjukkan niat baiknya untuk beribadah secara total. Namun, keinginan untuk menceraikan istri, hidup membujang layaknya rahib, melakukan pengosongan diri (yang bisa diartikan sebagai mengebiri diri atau menjauhkan diri dari segala kenikmatan duniawi secara ekstrem), mengharamkan makanan yang halal seperti daging, serta beribadah tanpa henti di malam hari dan berpuasa terus-menerus di siang hari, adalah bentuk-bentuk ekstremisme yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Teguran Nabi SAW dan Ajaran Moderasi
Alih-alih menyetujui dan mengapresiasi keinginan Utsman bin Mazh’un yang berlebihan itu, Nabi Muhammad SAW justru menegurnya dengan lembut namun tegas. Beliau menjelaskan bahwa apa yang diinginkan Utsman bukanlah bagian dari sunnahnya, dan bahkan bukan bagian dari esensi ajaran Islam yang sebenarnya. Nabi SAW bersabda:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنْ سُنَّتِي النِّكَاحَ وَلَا رَهْبَانِيَّةَ فِي الْإِسْلَامِ إِنَّمَا رَهْبَانِيَّةُ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَخِصَاءُ أُمَّتِي الصَّوْمُ وَلَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ. وَمِنْ سُنَّتِي أَنَامُ وَأَقُومُ وَأُفْطِرُ وَأَصُومُ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “Nabi Muhammad saw berkata: “termasuk sunnahku adalah menikah, tidak ada ke-rahiban (dengan tidak menikah) di dalam Islam, ke-rahiban di dalam umatku ialah berjihad di jalan Allah, pengosongan umatku dengan berpuasa, janganlah kalian mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan untuk kalian, di antara sunnahku ialah tidur, bangun, berbuka dan berpuasa. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku tidak termasuk bagian kaumku”. (Al-Qurthubi, halaman 87).
Teguran ini mengandung beberapa poin penting
Pentingnya Pernikahan: Nabi SAW menegaskan bahwa menikah adalah bagian dari sunnahnya. Islam mendorong pernikahan sebagai sarana untuk menjaga kesucian diri, melanjutkan keturunan, dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Tidak Ada Keraiban dalam Islam: Islam bukanlah agama yang mengajarkan penganutnya untuk mengasingkan diri dari dunia, hidup membujang seumur hidup, atau menjauhi interaksi sosial seperti para rahib dalam beberapa tradisi. Spirit keraiban dalam Islam diwujudkan melalui jihad di jalan Allah, yaitu perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta pengorbanan diri untuk agama.
Pengosongan Diri melalui Puasa: Jika Utsman menghendaki “pengosongan diri” (semacam pengebirian spiritual), maka dalam Islam hal itu diwujudkan melalui puasa. Puasa adalah bentuk penyucian jiwa dan pengendalian hawa nafsu yang tetap dalam koridor syariat, bukan dengan cara ekstrem yang merusak diri.
Larangan Mengharamkan yang Halal: Nabi SAW mengingatkan agar tidak mengharamkan hal-hal baik dan halal yang telah Allah izinkan untuk dinikmati oleh hamba-Nya. Islam adalah agama yang memudahkan, bukan mempersulit.
Keseimbangan Hidup (Moderasi): Nabi SAW menjelaskan sunnahnya yang seimbang: ada waktu untuk tidur dan ada waktu untuk shalat malam, ada waktu untuk berbuka dan ada waktu untuk berpuasa. Ini adalah cerminan dari prinsip moderasi (wasathiyah) dalam Islam.
Ancaman bagi yang Meninggalkan Sunnah: Penegasan “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku tidak termasuk bagian kaumku” menunjukkan betapa pentingnya mengikuti tuntunan Nabi SAW dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah. Meninggalkan sunnah berarti menjauh dari jalan yang lurus.
Keseimbangan Hak, Hak Allah, Diri, dan Keluarga
Dalam kisah di atas, Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran berharga kepada umat Islam untuk senantiasa bersikap moderat (wasathiyah) dalam segala hal, termasuk dalam beribadah. Sebab, segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan, meskipun awalnya diniatkan baik, pada akhirnya akan membawa dampak buruk atau justru bertentangan dengan esensi ajaran agama.
Pelajaran tentang keseimbangan ini juga diperkuat oleh riwayat yang disampaikan oleh Al-Bukhari, di mana Salman Al-Farisi pernah menasihati Abu Darda’ tentang pentingnya memberikan hak kepada setiap pihak. Nasihat Salman ini kemudian ditetapkan (sunnah taqririyah) oleh Nabi SAW, yang berarti beliau membenarkan dan menyetujuinya.
Salman Al-Farisi berkata kepada Abu Darda’:
اِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ
Artinya: “Sungguh bagi Tuhanmu terhadap dirimu memiliki hak, bagi dirimu atas dirimu juga terdapat hak, bagi keluargamu terhadap dirimu terdapat hak. Maka berilah setiap yang memiliki hak sesuai porsinya. Ia kemudian mendatangi Nabi Muhammad saw dan menyebutkan masalah ini kepada Nabi. Nabi bersabda: “Salman benar”. (HR. Al-Bukhari).
Hadits ini menggarisbawahi bahwa hidup seorang Muslim haruslah seimbang. Ada hak Allah SWT yang harus ditunaikan (ibadah), ada hak diri sendiri yang harus dipenuhi (istirahat, makan, minum, menjaga kesehatan), dan ada pula hak keluarga yang tidak boleh diabaikan (memberikan nafkah, perhatian, kasih sayang). Mengabaikan salah satu hak demi hak yang lain, apalagi sampai berlebihan, adalah tindakan yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang paripurna.
Kisah Utsman bin Mazh’un dan nasihat Salman Al-Farisi kepada Abu Darda’ menjadi pengingat yang kuat bagi seluruh umat Muslim. Agama Islam adalah agama yang mengedepankan keseimbangan, kemudahan, dan moderasi. Ibadah yang benar adalah ibadah yang sesuai dengan tuntunan syariat, tidak memberatkan diri secara berlebihan, dan tetap menjaga hak-hak yang lain. Hanya dengan demikian, seorang Muslim dapat menjalani hidup yang harmonis, baik di hadapan Allah maupun di tengah masyarakat.
Baca juga Kisah Mukjizat Rasulullah Sembuhkan Sahabat yang Buta Berkat Kuasa Ilahi
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.