Mensyukuri Lahirnya Manusia Mulia

Merayakan hari kelahiran nabi yang mulia merupakan sebuah ekspresi bahagia dan senang kepada Nabi Muhammad Saw. Sekali lagi, sebagai umat Muhammad sudah seharusnya bergembira dengan kehadiran manusia agung sebaik-baik utusan Allah agar kelak mendapatkan syafaatnya di akhirat. Selain itu ada pula kerinduan seluruh umat akan sosok Rahmatan Lil ‘Alamin. wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin.1

Rahmat yang sudah sepatutnya kita syukuri dengan cara memperbanyak baca shalawat dan menyenangkan kaum fakir miskin dengan bersedekah. Bahkan keberadaan rahmat itu mewajibkan kita selaku umat untuk menyambutnya dengan gembira ;

“Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari pada apa yang merek kumpulkan.’’ 2

Kisah Abu Lahab gembira menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga berujung siksanya diringankan tiap hari Senin menjadi bukti betapa mulianya Rasulullah SAW. Dalam sejarah Islam, Abu Lahab  merupakan orang yang paling membenci dengan kehadiran ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

Dalam kisah lain, Sayyid Alawi Al-Maliki menceritakan bahwasanya ayah beliau, Sayyid Abbas Al-Maliki, pernah berada di Baitul Maqdis untuk menghadiri peringatan Maulid Nabi pada malam ‘Ied Milad An-Nabawi. Dibacakanlah Maulid Al-Baryzanji di sana.

Saat itu, Sayyid Abbas melihat seorang pria tua beruban yang berdiri dengan khidmat penuh adab mulai dari awal sampai acara selesai. Ia heran, lalu bertanya kepadanya mengapa berdiri sedemikian lama sementara usianya sudah tua.

Lelaki tua itu bercerita bahwa dulu ia tidak mau berdiri pada acara peringatan Maulid Nabi. Ia berkeyakinan bahwa perbuatan itu adalah bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk).

Suatu malam ia bermimpi dalam tidurnya. Dia bersama sekelompok orang yang bersiap-siap menunggu kedatangan Nabi Muhammad SAW. Saat cahaya wajah Nabi Muhammad laksana bulan purnama itu muncul, sekelompok orang itu bangkit dengan berdiri menyambut kehadiran Rasulullah SAW.

Baca Artikel Lainnya:  Belajar dari Kisah Nabi Zakaria : Doa Kita Tidak Akan Sia-sia

Namun tak disangka, ia tiba-tiba tidak mampu bangkit, lumpuh. Rasullullah SAW lalu bersabda kepadanya, “Kamu tidak akan bisa berdiri.” Ia kemudian bangun dari tidurnya. Betapa sedihnya dia, ternyata ia bangun tidur dalam keadaan duduk dan lumpuh, tak mampu berdiri. Berbulan-bulan ia menderita seperti itu.

Kemudian ia bernazar jika Allah menyembuhkan sakitnya ini, ia akan berdiri mulai awal pembacaan Maulid Nabi sampai akhir bacaan. Ajaibnya, tak berapa lama kemudian Allah menyembuhkannya. Maka ia pun selalu berdiri mulai awal pembacaan Maulid Nabi sampai akhir bacaan untuk memenuhi nazarnya karena mengagungkan Rasulullah SAW.3

Dalam kisah lain yang senada kecintaan dan kemuliaan Nabi Muhammad dialami oleh pengarang Qasidah Burdah yakni Imam Al-Busyiri. Ia ulama yang memiliki nama lengkap Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Busyiri itu lahir di Dallas, Maroko pada tahun 609 Hijriah dan dibesarkan di Busyir, Mesir.

Al-Busyiri diberi gelar ‘Sayyidul Maddah’ (pemimpin para pemuji Rasulullah). Ini karena shalawat burdah dianggap sebagai puncak karya sastra dalam memuji Rasulullah.

Al-Busyiri menulis syair burdah saat tengah menderita sakit lumpuh. Dia mengisi kekosongan waktu dengan harapan bisa mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW. Ia menulis sajak-sajak indah tentang sosok beliau, yang pada akhirnya sering dilantunkan hingga kini dalam kegiatan keagamaan seperti diba’an dan muslimatan.

Meski seorang sastrawan dan penyair, ia masih menghadapi berbagai rintangan dalam mengarang dan menyusun syair burdah. Suatu ketika, saat mengarang syair itu, ia berhenti pada kalimat ‘Fa mablaghul ilmi fihi annahu basyarun’.

Ia sama sekali tidak bisa melanjutkan penggalan kalimat syair yang beliau karang. Hingga akhirnya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya itu, ia membacakan syair tersebut kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Baca Artikel Lainnya:  Kisah Abdullah Bin Ummi Maktum : Istiqomah itu Karomah

Sampai pada kalimat ‘Fa mablaghul ilmi fihi annahu basyarun’, ia terdiam dan tidak bisa melanjutkan. Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘bacalah’. Al-Busyiri pun mengaku tak bisa melanjutkan potongan syair tersebut. Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Wa annahu khairu khalqillahi kullihimi.’

Al-Busyiri lalu menambahkan syair tersebut dalam karangannya. Setelah itu, nabi melepas jubahnya dan diselimutkan kepada tubuh Al-Busyiri. Nabi juga mengusap wajah Al-Busyiri. Saat itu pula ia terbangun dan melihat jubah pemberian nabi menyelimutinya.

Tak hanya itu, Al-Busyiri sembuh dari penyakit. Dia juga mendapati potongan syair yang tak tuntas di karangannya sudah lengkap.4

Menurut Syekh Ali al-Qari dalam Az Zubdah fi Syarhil Burdah, Qasidah Burdah bisa dijadikan media untuk memohon kepada Allah agar dipenuhi segala kebutuhan.5

Sebagai pengingat! Cinta kepada Nabi Muhammad SAW adalah manifestasi cinta kepada Allah SWT. Rasulullah adalah utusan yang membawa dan menyebarkan wahyu kebenaran Allah kepada semua umat manusia. Rasulullah adalah hamba yang paling disayangi Allah, maka manusia yang beriman, berkewajiban pula menyayangi apa yang disayangi Allah SWT.

Mencintai  Rasulullah tidaklah sekedar ucapan tetapi harus diwujudkan dengan melaksanakan semua ajaran dan contoh teladan yang diberikan Rasulullah. Nabi Muhammad diutus Allah untuk memperbaiki akhlak manusia. Maka, orang yang mencintai Rasululullah harus membuktikan mereka memiliki akhlaqul karimah yang sesuai dengan akhlak Rasul.Wujud nyata kecintaan kepada Rasululullah, terlihat  dari pelaksanakan semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Kecintaan kepada Rasulullah juga diwujudkan dengan selalu mengingat nama beliau, mengucapkan salawat dan mendoakan beliau.

 

Penulis : Budi Diansyah

Footnotes

  1. Q. S. Al-Anbiya’ : 107
  2. Q. S. Yunus : 58
  3. Kitab Al-Hadyut taamm fii Mawaaridil Maulidinnabawiyyi Wa Maa I’tiida Fiihi Minal Qiyaam karya Sayyid Muhammad Ali bin Husein Al-Maliki Al-Makki (1287 H – 1367 H).
  4. Kitab Muqaddimah Syarhul Burdah karya Imam al-Baijuri
  5. Kitab az-Zibdah fî Syarhil Burdah Karya Ali al-Qari (Turki : Hidâyatul ‘Ârifîn, 1991)
Baca Artikel Lainnya:  Sedekah Menjadikan Harta Lebih Berkah