You are here:

Profesi Mulia yang Wajib Dihargai dengan Kesejahteraan Layak adalah GURU

Profesi Mulia yang Wajib Dihargai dengan Kesejahteraan Layak adalah GURU

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Putri Terbaik Mojokerto – Guru bukan hanya profesi mulia, tetapi juga salah satu pilar terpenting dalam pembangunan bangsa. Sayangnya, penghargaan terhadap profesi guru di Indonesia masih kerap tertinggal dibanding negara lain. Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana Islam memandang profesi guru, pentingnya penghargaan terhadap kesejahteraan mereka, hingga perbandingan dengan negara lain agar pembaca memahami bahwa guru bukan sekadar pengabdi, melainkan profesional yang memiliki hak penuh atas kehidupan yang layak.

Guru: Profesi Mulia yang Menjadi Pondasi Bangsa

Tidak bisa dipungkiri bahwa guru memainkan peran sentral dalam mencerdaskan bangsa. Guru tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, budi pekerti, dan nilai-nilai moral anak didik. Tanpa guru, sistem pendidikan hanya berupa ruang kosong tanpa jiwa.

Dalam pandangan sosial, guru adalah figur panutan yang dihormati. Sedangkan dalam pandangan spiritual, profesi ini memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, karena mendidik adalah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa orang alim lebih mulia dibanding ahli ibadah, karena ilmunya membawa manfaat luas bagi manusia.

Namun, kemuliaan profesi guru seringkali tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima, terutama dari sisi materi maupun kesejahteraan. Inilah problem utama di dunia pendidikan kita: guru dituntut profesional, tetapi hak-haknya sering tidak terpenuhi.

Guru Sebagai Profesi, Bukan Sekadar Pengabdian

Masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap guru bekerja sekadar untuk pengabdian, sehingga mereka wajar diberi gaji rendah. Stereotip seperti “jadi guru harus ikhlas” atau “guru tidak pantas menuntut uang” masih sering terdengar.

Pemikiran semacam ini sebenarnya merupakan bentuk salah kaprah. Islam sendiri tidak pernah menafikan hak seorang guru untuk mendapat imbalan yang layak. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra menjelaskan dengan tegas bahwa meskipun seorang guru wajib mengajar dalam kondisi tertentu, kewajiban itu tidak menghapus haknya untuk menerima upah. Artinya, mengajar tetaplah profesi yang sah untuk dihargai dengan imbalan.

لَوْ سُئِلَ فِي تَعْلِيمِ الْفَاتِحَةِ لِمَنْ يَجْهَلُهَا وَجَبَ عَلَيْهِ تَعْلِيمُهُ إيَّاهَا وَتَعَيَّنَ عَلَيْهِ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ غَيْرُهُ لَكِنْ لَا مَجَّانًا بَلْ بِأُجْرَةٍ فَلَمْ يَجْعَلُوا التَّعَيُّنَ مَانِعًا مِنْ اسْتِحْقَاقِ الْأُجْرَةِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Artinya: “Andaikan ditanya tentang seorang guru yang mengajarkan al-Fatihah kepada orang yang tidak mengetahuinya, maka wajib baginya untuk mengajarkan jika di tempat tersebut tidak ada guru lain. Dan kewajiban ini tidak lantas menjadikannya harus mengajar secara gratis, melainkan tetap berhak menerima upah. Maka, kewajiban mengajar tidaklah menafikan hak seorang guru atas gaji. Wallahu Subhanahu wa Ta‘ala a‘lam bish-shawab.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, [Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyah, t.t.], jilid I, hlm. 36)1

Hal ini menegaskan bahwa guru bukan sekadar relawan pendidikan. Mereka memiliki tanggung jawab, kegiatan profesional, dan kebutuhan hidup yang harus terpenuhi. Menafikan hak guru dengan alasan ikhlas justru merupakan bentuk ketidakadilan.

Ketika Ikhlas Disalahpahami

Dalam ajaran Islam, ikhlas adalah kunci utama dalam beramal. Namun, ikhlas memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar bekerja tanpa imbalan. Ulama besar, Syekh Sulaiman al-Bujairami, menegaskan dalam Hasyiahtul Bajairami ‘alal Khatib bahwa ikhlas terbagi dalam beberapa tingkatan.

درجات الإخلاص ثلاث: عليا ووسطى ودنيا، فالعليا أن يعمل العبد لله وحده امتثالا لأمره وقياما بحق عبوديته لا طمعا في جنته ولا خوفا من ناره، ….، والوسطى أن يعمل العبد لثواب الآخرة، …. والدنيا أن يعمل العبد للإكرام من الله في الدنيا والسلامة من آفاتها، وما عدا هذه الثلاثة رياء.  

Artinya: “Tingkatan ikhlas terbagi menjadi tiga: tinggi, pertengahan, dan rendah. Tingkatan yang paling tinggi adalah ketika seorang hamba beramal semata-mata karena Allah, hanya untuk melaksanakan perintah-Nya dan menegakkan hak penghambaan, tanpa sedikit pun terdorong oleh harapan akan surga ataupun rasa takut terhadap neraka. Tingkatan pertengahan adalah ketika seorang hamba beramal dengan tujuan meraih pahala di akhirat. Sementara tingkatan yang paling rendah adalah ketika seorang hamba beramal dengan harapan memperoleh kemuliaan dari Allah di dunia dan terbebas dari berbagai bencana duniawi. Segala amal yang keluar dari tiga tingkatan ini tidak lain hanyalah riya.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiahtul Bajairami ‘alal Khatib, [Beirut: Darul Fikr, t.t.] jilid I, hal. 18).

Penting dicatat, ikhlas menyangkut niat seseorang, bukan penghapusan hak-hak duniawi. Seorang guru bisa tetap ikhlas mengajar meskipun menerima gaji. Bahkan, memberikan penghargaan berupa gaji layak bisa menjadi jalan untuk menumbuhkan ikhlas, karena guru tidak lagi terbebani kesulitan ekonomi.

Dengan demikian, menjadikan “ikhlas” sebagai alasan untuk membayar guru dengan upah rendah adalah bentuk penyimpangan makna ikhlas, bahkan bisa dikategorikan sebagai bentuk kezaliman.

Realitas Kesejahteraan Guru di Indonesia

Masalah kesejahteraan guru di Indonesia memang sudah lama terjadi, terutama bagi guru honorer. Hingga kini banyak guru honorer yang menerima gaji jauh di bawah standar upah minimum regional. Kondisi ini sangat ironis mengingat mereka dituntut untuk profesional, disiplin tinggi, dan mengikuti berbagai regulasi pendidikan, termasuk sertifikasi.

Di saat yang sama, guru di negara maju justru menempati posisi sosial yang sangat dihormati. Bahkan menjadi guru sering menjadi profesi impian karena penghasilan yang memadai.

Perbandingan Gaji Guru di Dunia:

  • Swiss: Guru sekolah dasar rata-rata menerima gaji sekitar US$60.873 per tahun (setara Rp80 juta per bulan).
  • Afrika Selatan: Guru menerima gaji sekitar US$57.893 per tahun.
  • Indonesia: Banyak guru honorer masih menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan, jauh dari standar kelayakan hidup.

Data ini jelas memperlihatkan adanya kesenjangan yang sangat besar. Kesejahteraan guru berbanding lurus dengan kualitas pendidikan suatu bangsa. Semakin sejahtera guru, semakin baik pula mutu pendidikan yang dihasilkan.

Menegakkan Keadilan untuk Guru

Dalam Islam, prinsip keadilan adalah fondasi yang tidak bisa ditawar. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa : 135 agar umat Islam menjadi penegak keadilan, bahkan jika itu memberatkan diri sendiri atau keluarga. Prinsip ini juga tertuang dalam falsafah kebangsaan kita melalui Pancasila, terutama sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْاۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau berpaling, sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 135).

Guru yang tidak mendapatkan gaji layak adalah bentuk nyata ketidakadilan. Institusi pendidikan, masyarakat, hingga negara memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan ini. Memberikan gaji yang sesuai, mempermudah akses kesejahteraan, dan meningkatkan kualitas hidup guru adalah bentuk penghormatan sekaligus amanah yang harus dipenuhi.

Mengapa Pandangan Negatif Masih Ada?

Di kalangan masyarakat, termasuk sebagian dunia pesantren, masih ada yang memandang rendah guru yang menjadikan profesinya sebagai sumber penghasilan. Penyebabnya adalah kegagalan membaca perubahan zaman.

Pada masa lalu, ulama memang mengajar tanpa menuntut imbalan. Namun, kondisi sosial-ekonomi waktu itu berbeda. Para ulama biasanya mendapat jaminan dari masyarakat atau keluarga mereka sehingga kebutuhan pokok tetap terpenuhi. Sedangkan guru modern saat ini, meskipun bergaji, masih kerap kesulitan mencukupi kebutuhan hidup.

Dengan demikian, membandingkan guru modern dengan ulama klasik sangatlah keliru. Konteks sosialnya berbeda dan kondisi zaman sudah berubah.

Guru dan Pembangunan Bangsa

Guru adalah pondasi peradaban. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pembentuk generasi yang berilmu dan berakhlak. Tanpa guru yang sejahtera, mustahil pendidikan Indonesia mampu bersaing di tingkat global.

Di banyak negara maju, profesi guru dijadikan prioritas utama dalam pembangunan. Inilah yang membuat mereka memiliki sistem pendidikan berkualitas. Jika Indonesia ingin maju, memperbaiki kesejahteraan guru harus menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda.

Kesimpulan

Guru adalah profesi mulia sekaligus profesi profesional. Menafikan hak guru dengan dalih ikhlas adalah bentuk penyalahgunaan agama yang harus diluruskan. Islam sendiri menegaskan bahwa mengajar boleh dan sah mendapatkan imbalan.

Negara dan masyarakat memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan bagi para guru, sebab kualitas pendidikan suatu bangsa sangat terkait dengan kesejahteraan pendidiknya. Jika guru terus dibiarkan hidup dalam ketidakadilan, maka pendidikan Indonesia akan sulit berkembang.

Guru bukan sekadar pengabdi, tetapi pilar peradaban. Menghormati guru berarti membangun masa depan bangsa.

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an.

Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556, atau kunjungi tautan berikut: https://aljihadulchakim.sch.id/bio

  1. https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/guru-bukan-relawan-mereka-berhak-sejahtera-FlE3I ↩︎