Pondok Tahfidzul Qur’an Putri Modern Mojokerto – Dalam Al-Qur’an, tepatnya pada Q.S Abasa [42] ayat 1-16,
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ
‘abasa wa tawallā
Artinya: “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, ”
اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰىۗ
an jā`ahul-a’mā
Artinya: “karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). ”
وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ
wa mā yudrīka la’allahụ yazzakkā
Artinya: “Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), ”
اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ
au yażżakkaru fa tanfa’ahuż-żikrā
Artinya: “atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? ”
اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ
ammā manistagnā
Artinya: “Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), ”
فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ
fa anta lahụ taṣaddā
Artinya: “maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, ”
وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ
wa mā ‘alaika allā yazzakkā
Artinya: “padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). ”
وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ
wa ammā man jā`aka yas’ā
Artinya: “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), ”
وَهُوَ يَخْشٰىۙ
wa huwa yakhsyā
Artinya: “sedang dia takut (kepada Allah), ”
فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ
fa anta ‘an-hu talahhā
Artinya: “engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. ”
كَلَّآ اِنَّهَا تَذْكِرَةٌ ۚ
kallā innahā tażkirah
Artinya: “Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan, ”
فَمَنْ شَاۤءَ ذَكَرَهٗ ۘ
fa man syā`a żakarah
Artinya: “maka barangsiapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikannya, ”
فِيْ صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍۙ
fī ṣuḥufim mukarramah
Artinya: “di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), ”
مَّرْفُوْعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ ۢ ۙ
marfụ’atim muṭahharah
Artinya: “yang ditinggikan (dan) disucikan, ”
بِاَيْدِيْ سَفَرَةٍۙ
bi`aidī safarah
Artinya: “di tangan para utusan (malaikat), ”
كِرَامٍۢ بَرَرَةٍۗ
kirāmim bararah
Artinya: “yang mulia lagi berbakti. ”
Allah menegur Nabi Muhammad. Beliau ditegur karena mengacuhkan dan memalingkan wajah dari Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang tunanetra.
Profesor Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, menjelaskan kalau peristiwa ini terjadi ketika Nabi Muhammad sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Makkah, seperti al-Walîd Ibn al-Mughîrah. Harapan beliau, mereka bisa memeluk Islam.
Saat itu, Nabi Muhammad tentu berharap ajakannya bisa menyentuh hati dan pikiran para tokoh tersebut. Dengan begitu, mereka bersedia memeluk Islam. Ini tentu akan membawa dampak positif yang luar biasa bagi perkembangan dakwah Islam.
Nah, di tengah kesibukan itu, Abdullah Ibn Ummi Maktum datang. Rupanya beliau tidak tahu kalau Nabi sedang ada urusan penting. Abdullah tiba-tiba menyela pembicaraan Nabi dan memohon agar diajarkan apa yang sudah Allah ajarkan kepada Nabi.
Menurut riwayat, Abdullah mengucapkan permohonan itu berkali-kali. Sikap Abdullah ini ternyata tidak berkenan di hati Nabi. Meskipun begitu, Nabi tidak menegur apalagi menghardik beliau. Hanya saja, terlihat jelas di air muka Nabi rasa tidak senang. Kemudian, turunlah ayat yang tadi sudah disebutkan untuk menegur Nabi Muhammad.
Setelah mendapat teguran dari Allah, Nabi Muhammad langsung meminta maaf kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Mengutip perkataan Al-Wâhidî dalam Tafsir al-Basith, setiap kali Abdullah Ibn Ummi Maktum datang, Nabi selalu menyambutnya dengan ucapan, “Marhaban (selamat datang) wahai orang yang karena ia aku ditegur oleh Tuhanku.”
Sayyid Quthub berpendapat bahwa kecaman itu memang ditujukan untuk Nabi Muhammad. Beliau menulis kalau redaksi berbentuk persona ketiga mengesankan bahwa masalah yang dibicarakan ayat itu—yaitu kasus mengabaikan sang tunanetra—begitu buruk di mata Allah. Saking buruknya, Allah bahkan tidak mau langsung berbicara kepada Nabi-Nya. Ini adalah bentuk kasih dan rahmat Allah kepada Nabi, sebagai penghormatan agar hal buruk itu tidak langsung ditujukan kepada beliau. Baru setelah kasus yang menjadi sebab teguran itu selesai, Allah beralih berbicara kepada Nabi Muhammad dalam bentuk persona kedua (ayat 3 dan seterusnya).
Namun, ada pandangan berbeda yang disampaikan oleh al-Biqa’i. Menurutnya, penyebutan kata ‘abasa (cemberut) dalam bentuk persona ketiga, yang tidak secara langsung menunjuk Nabi Muhammad, justru menunjukkan betapa halus teguran ini. Allah, dalam mendidik Nabi-Nya, tidak menuding Rasulullah atau secara tegas menyalahkannya. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana kita bisa memberikan kritik dengan cara yang lebih bijak dan penuh kasih, bukan?
Kisah ini, bahkan di zaman sekarang, tetap relevan. Ini mengingatkan kita semua untuk selalu bersikap ramah dan terbuka kepada siapa pun, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Kira-kira, pelajaran apa lagi ya yang bisa kita ambil dari kisah ini dalam kehidupan sehari-hari kita?
Baca juga Ayat Al-Qur’an yang Berisi tentang Perintah Berqurban
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto merupakan pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter.Jika Anda sedang mencari pondok pesantren yang memberikan pendidikan agama yang mendalam, dengan pendekatan yang hangat dan penuh perhatian terhadap perkembangan karakter, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Jihadul Chakim di Mojokerto – Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan lingkungan yang mendukung dan pengasuhan yang penuh empati, pesantren ini fokus membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta Al-Qur’an. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Pondok Pesantren Al Jihadul Chakim melalui WhatsApp di nomor 0811-3600-074 atau 0811-3055-5556.